Kebijakan MRP Selalu Dicurigai
Dari Peringatan 5 Tahun Pertama Kehadiran MRP di Tanah PapuaKetua MRP Agus Alua, kemarinJAYAPURA—Senin, tepatnya 1 November kemarin, diperirangi sebagai hari lima Tahun pertama Majelis Rakyat Papua ( MRP) hadir di Papua. Meski sudah berusia 5 tahun namun kebijakan MRP yang memihak kepada orang asli Papua ini tidak jarang dicurigai yang macam-macam. Demikian antara lain tersirat dalam penyataan Ketua MRP Agus Alua, kemarin. Ditakan, MRP hadir bukan atas keinginan sekelompok suku di Papua, bukanpula atas keinginan para ondoafi dan tetua Adat Papua ataupun kehadirannya karena Desakan kuat Pemerintah dalam relasi Kuasanya, tetapi dia hadir dari suatu Gejolak Politik yang Kuat dalam membendung Aspirasi Abadi “ Merdeka” rakyat Papua yang termakan sejarah Memoria Passionis”.
MRP hadir karena sejarah dari memoria Passionis di Papua yang terakokomodir dalam undang- undang Otsus No 21 tahun 2001 yang katanya, undang undang ini akan memberi wewenang penuh kepada lembaga representative kultural ini untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Papua, utamanya untuk memberikan perlindungan terhadap hak hak dasar orang asli Papua.Ikwal terbentuknya MRP sebenarnya bermuara dari adanya kesadaran baru dari sistim Demokrasi di Indonesia bahwa Penduduk asli Papua memiliki identitas dan jati diri yang khas dalam kebhinekaan penduduk dan budaya Indonesia sehingga jati diri ini harus diposisikan khusus sebagai bagian dari keragaman Indonesia yang perlu dilindungi.Lantas, Pemerintah Indonesia dan lembaga rakyat MPR dan DPR RI mengambil kebijakan jalan tengah sebagai langkah Politik Win Win Solution di mana Papua ditawari Otsus dimana janji Kesejahteraan untuk Warga Papua asli akan dikedepankan dalam rangka meminimalisir aspirasi Politik Papua Merdeka, demikian sambutan Ketua MRP Agus Alue Alua yang pada 31 Oktober lalu telah berakhir masa jabatannya.“Untuk itu Papua ditawarkan kewenangan khusus dimana, Otsus yang berjalan 9 tahun ini masih dilihat dengan banyaknya uang otsus yang dikucurkan ke Papua untuk membiayai semua kewenangan tersebut tanpa diikuti niat baik Pemerintah Pusat untuk menanggapi situasi di Tanah Papua,” papar Alua di hadapan tamu dan para Undangan.Semangat dasar Otsus bagi Tanah Papua sebenarnya untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua dalam rangka implementasi, namun kenyataan nya, telah terjadi ketimpangan relasi kuasa dalam mengatur kebijakan khusus untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua dan segala kekayaan alamnya.Kondisi riilnya nampak jelas terbaca selama 9 tahun pelaksanaan UU Otsus di Tanah Papua, yang menurut MRP Pemerintah lebih banyak memikirkan dan mengerjakan bagaimana dana Otsus diperoleh atau bagaimana dana Otsus dicairkan dan dipertanggungjawabkan ke Pusat, lebih parah lagi sejumlah perdasus yang dihasilkanpun belum ada terobosan nyata yang bisa menolong dan menyelamatkan orang asli Papua diatas Tanah warisan leluhurnya, bahkan dapat dikatakan mereka itu terancam nasib hidupnya diatas Kampung halamannya sendiri.Mengutip karya LIPI dalam bukunya “ Papua Road Map “ telah membuktikan hal ini, dimana Evaluasi LIPI tentang pelaaksanaan UU Otsus di Tanah Papua selama 7 tahun pada 2002 hingga 2009 telah menunjukkan Implementasi Papua yang terancam dan telah memarjinalkan orang Asli Papua dari berbagai macam ancaman kekerasan dan Pelanggaran HAM. Tidak heran, lanjut Alua bila LIPI menawarkan solusi penyelesaian masalah Papua yang telah diusulkan ke Publik di Papua dan sedang dalam proses yakni terbukanya ruang Dialog local dan Nasional sebagai langkah penyelesaian maslah Papua, bukan dengan cara penawaran terhadap orang asli Papua untuk mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat atau Revisi UU Otsus, terangnya.Menurut MRP seperti yang terungkap dalam sambutan Agus Alua, pengalaman perjuangan MRP tentang hak hak dasar orang asli Papua selama 5 tahun bekerja di lembaga representative cultural ini, menunjukkan bahwa dalam Implementasi UU Otsus di Tanah Papua, yang diidentikkan dengan Dana yang besar, ternyata telah memunculkan polemic dan menambah daftar panjang yang ditimbulkan Oleh Dosa Otsus.Pertama Dosa yang dilakukan Pemerintah Pusat terkait kebijakan langsung maupun tak langsung dari Pemerintah pusat yang bersinggunggan dengan hadirnya Inpres No. 1 Tahun 2003 yang diterbitkan Presiden sebagai Perintah untuk menghidupkan provinsi Irian Jaya Barat walau hal itu bertentangan dengan pasal 76 UU No 21 Tahun 2001 dengan tujuan mengobrak abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua.Dosa kedua, kata Alua tidak diterbitkannya beberapa Peraturan Pemerintah yang diamatkan didalam UU Otsus sebagai pelaksanaan UU Otsus khusus bagi Provinsi Papua sebab sampai sekarang hanya diterbitkan satu Peraturan Pemerintah saja, yakni pembentukan MRP tahun 2004.
Dosa ketiga, ketika SK Mendagri yang dibackup oleh Wapres Yusuf Kalla untuk mengesahkan Provinsi IJB dan melaksanakan Pemilukada Gubernur IJB tahun 2006, walau hasil negosiasi panjang dengan tim Papua yakni Gubernur, DPRP dan MRP yang mulai pada tanggal 24 November 2005 mencapai tawaran pemekaran Provinsi dan Pemilukada yang dipaksakan Pusat.Dosa berikutnya, ketika dana Otsus tiap tahun anggaran hampir sebagian besarnya tidak efektif untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua, selain dibagi bagi dengan laporan keuangan fiktif, hal ini diikuti dengan tidak konsistennya jadwal pencairan dana Otsus per triwulannya, disamping itu tidak adanya realisasi atas pembagian hasil SDA Papua serta pelanggaran erhadap pasal 5 yang merupakan langkah gigih MRP untuk perdasus lambing Daerah yang tak berlanjut dan digantikan dengan PP. No 77 tahun 2007 serta penetapan UU No 35 tahun 2008 dalam mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU Otsus sebagai Provinsi dalam otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan mencoret dan menambah tersebut terang Alua, telah melanggar pasal 76 yang member kewenangan perubahan UU No. 2001 kepada rakyat asli Papua, dimana kata Alua, mrp telah mengingatkan Wapres Yusuf KAlla dan Timnya tetapi tal diindahkan dengan mendirikan barisan Merah Putih di Tanah Papua dan kegiatannya yang berakibat pada terganggunya keberadaan lembaga Negara DPR dan MRP dalam mengambil kebijakannya dikontrol dan kaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga Negara yang lebih tinggi.Selain itu adanya perjuangan MRP yang tak terakomodir yang oleh Agus Alue Alua semakin menambah daftar panjang dosa Pemerintah, ketika perjuangan 11 kursi Otsus versus penerimaan usul BMP atas 11 kursi yang sama yang diperjuangkan BMP hingga MK yang mengkerdilkan lembaga DPRP dan MRP.Adanya Politisasi SK 14 MRP/2009 yang jadi bola liar panas yang mudah dipermainkan oleh siapa saja dari pusat sampai Daerah yang ditanggapi Pemerintah Pusat dan Daerah dengan penuh curiga hingga nasip SK 14 sampai kini tak digunakan dalam pemilukada tahun 2010 ini di seluruh Tanah Papua.Disamping menyebutkan barisan daftar Dosa yang dibuat Pemerintah Pusat terhadap Papua, Alua memaparkan pula daftar dosa yang dilakukan Pemerintah Daerah Papua, yang dinilai tak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 tahun Implementasi Otsus terkecuali Perdasi pembagian dana Otsus, pembentukan MRP. Selain belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi SERTA Pengadilan HAM di Papua , dinilai telah adanya dualism hokum antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota terkait UU No. 32 Tahun 2004 yang dinilai tak sedikitpun ada upaya menyingkronkan kedua UU tersebut, disertai retrumen PNS bagi orang asli Papua yang belum Nampak dalam sejumlah penerimaan PNS yang berlangsung disemua Instansi Pemerintah, justru penerimaan PNS banyak dibanjiri para migrant luar Papua yang dinilai tak jelas latarbelakangnya, terang Alua.Masalah Migran yang belum tersentuh dan sangat berdampak buruk terhadap masyarakat asli Papua terutama dampak penyebaran HIV AIDS, miras, prostitusi dan dampak ekonomi yang berpengaruh terhadap penguasaan sumber sumber ekonomi, sementara keadaan Otsus pada 2010 dalam pengamatan fakta pelaksanaannya, menurut MRP Pemerintah Provinsi telah mengklaim keberhasilan Otsus wjudnya Respek yang berhasil sementara rakyat menilai Otsus gagal menjamin dan menolong orang asli Papaua sehingga semua semua pihak perlu duduk bersama dan membicarakan kembali Otsus di Tanah Papua, kata dia dengan cara kita Evaluasi isi dan cara implementasi UU Otsus dalam rangka revisi menyeluruh atau solusi lainnya Otsus Papua ditingkatkan statusnya menjadi federal dengan melaksanakan sistim Pemerintahan ONE Nation Two Systems atau perlunya dialog Nasional antara Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan masalah Ppaua secara menyeluruh, bermartabat dan tuntas yang dimediasi oleh Pihak ketiga atau Negara tertentu atau Badan Internasional Independen tertentu, kata Alua.
Akankah MRP Bertahan Dalam sambuatan Gubernur yang dibacakan Wakil Gubernur Alex Hesegem pada Peringatan Ultah MRP Kelima Senin ( 1/11) menerangkan posisi MRP setelah ada Keputusan Mendagri kalau Lembaga Kultural ini akan diperpanjang masa Tugasnya untuk tiga bulan kedepan terhitung November hingga Januari tahun depan, namun dari keterangan sambutan yang dibacakan Wakil Gubernur belum menerangkan adanya suatu keputusan Gubernur atau peraturan yang bisa menjamin MRP untuk bertahan, kalau memang lembaga ini secara defakto berakhir masa tugasnya 31 Oktober kemarin.Seharusnya Gubernur perlu mengeluarkan SK resmi untuk menjamin bila lembaga ini akan bertahan hingga tiga bulan kedepan, kalau gubernur mulai hari ini belum juga mengeluarkan suatu Keputusan, maka kehadiran MRP untuk tiga bulan kedepan tak berdasarkan hokum dan illegal.
Sementara Kehadiran MRP masih dibutuhkan oleh rakyat Papua sebagai lembaga Negara, namun kebijakannya selalu dilecehkan bila melihat kembali dari Inkonsistensinya Pemerintah dalam melaksanakan Undang Undang Otsus terkait kebijakan yang diambil lembaga cultural ini dalam memberdayakan, melindungi dan keberpihakannya pada orang asli Papua, kata Paskalis Keagop jurnalis yang menulis tentang rekan jejak lembaga MRPDitempat terpisah Dominikus Sorabut menyatakan, kehadiran MRP sebagai lembaga representative dengan keadaannya yang mengambang tanpa aturan Hukum. ,masih terus jadi pertanyaan, akankah MRP terus ada atau tidak perlu ada tergantung aturan hokum, sebab belum ada perdasus yang mengatur keberadaan lembaga ini, kata dia.Kalau MRP harus ditiadakan, itu kewenangan Pemerintah Pusat dari sudut pandang apa hingga Pemerintah memandang Perlu tidaknya Lembaga ini tetap eksis, semuanya dari kebijakan yang diambil Pemerintah,” ujar Pascal. (ven)
MRP hadir karena sejarah dari memoria Passionis di Papua yang terakokomodir dalam undang- undang Otsus No 21 tahun 2001 yang katanya, undang undang ini akan memberi wewenang penuh kepada lembaga representative kultural ini untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Papua, utamanya untuk memberikan perlindungan terhadap hak hak dasar orang asli Papua.Ikwal terbentuknya MRP sebenarnya bermuara dari adanya kesadaran baru dari sistim Demokrasi di Indonesia bahwa Penduduk asli Papua memiliki identitas dan jati diri yang khas dalam kebhinekaan penduduk dan budaya Indonesia sehingga jati diri ini harus diposisikan khusus sebagai bagian dari keragaman Indonesia yang perlu dilindungi.Lantas, Pemerintah Indonesia dan lembaga rakyat MPR dan DPR RI mengambil kebijakan jalan tengah sebagai langkah Politik Win Win Solution di mana Papua ditawari Otsus dimana janji Kesejahteraan untuk Warga Papua asli akan dikedepankan dalam rangka meminimalisir aspirasi Politik Papua Merdeka, demikian sambutan Ketua MRP Agus Alue Alua yang pada 31 Oktober lalu telah berakhir masa jabatannya.“Untuk itu Papua ditawarkan kewenangan khusus dimana, Otsus yang berjalan 9 tahun ini masih dilihat dengan banyaknya uang otsus yang dikucurkan ke Papua untuk membiayai semua kewenangan tersebut tanpa diikuti niat baik Pemerintah Pusat untuk menanggapi situasi di Tanah Papua,” papar Alua di hadapan tamu dan para Undangan.Semangat dasar Otsus bagi Tanah Papua sebenarnya untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua dalam rangka implementasi, namun kenyataan nya, telah terjadi ketimpangan relasi kuasa dalam mengatur kebijakan khusus untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua dan segala kekayaan alamnya.Kondisi riilnya nampak jelas terbaca selama 9 tahun pelaksanaan UU Otsus di Tanah Papua, yang menurut MRP Pemerintah lebih banyak memikirkan dan mengerjakan bagaimana dana Otsus diperoleh atau bagaimana dana Otsus dicairkan dan dipertanggungjawabkan ke Pusat, lebih parah lagi sejumlah perdasus yang dihasilkanpun belum ada terobosan nyata yang bisa menolong dan menyelamatkan orang asli Papua diatas Tanah warisan leluhurnya, bahkan dapat dikatakan mereka itu terancam nasib hidupnya diatas Kampung halamannya sendiri.Mengutip karya LIPI dalam bukunya “ Papua Road Map “ telah membuktikan hal ini, dimana Evaluasi LIPI tentang pelaaksanaan UU Otsus di Tanah Papua selama 7 tahun pada 2002 hingga 2009 telah menunjukkan Implementasi Papua yang terancam dan telah memarjinalkan orang Asli Papua dari berbagai macam ancaman kekerasan dan Pelanggaran HAM. Tidak heran, lanjut Alua bila LIPI menawarkan solusi penyelesaian masalah Papua yang telah diusulkan ke Publik di Papua dan sedang dalam proses yakni terbukanya ruang Dialog local dan Nasional sebagai langkah penyelesaian maslah Papua, bukan dengan cara penawaran terhadap orang asli Papua untuk mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat atau Revisi UU Otsus, terangnya.Menurut MRP seperti yang terungkap dalam sambutan Agus Alua, pengalaman perjuangan MRP tentang hak hak dasar orang asli Papua selama 5 tahun bekerja di lembaga representative cultural ini, menunjukkan bahwa dalam Implementasi UU Otsus di Tanah Papua, yang diidentikkan dengan Dana yang besar, ternyata telah memunculkan polemic dan menambah daftar panjang yang ditimbulkan Oleh Dosa Otsus.Pertama Dosa yang dilakukan Pemerintah Pusat terkait kebijakan langsung maupun tak langsung dari Pemerintah pusat yang bersinggunggan dengan hadirnya Inpres No. 1 Tahun 2003 yang diterbitkan Presiden sebagai Perintah untuk menghidupkan provinsi Irian Jaya Barat walau hal itu bertentangan dengan pasal 76 UU No 21 Tahun 2001 dengan tujuan mengobrak abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua.Dosa kedua, kata Alua tidak diterbitkannya beberapa Peraturan Pemerintah yang diamatkan didalam UU Otsus sebagai pelaksanaan UU Otsus khusus bagi Provinsi Papua sebab sampai sekarang hanya diterbitkan satu Peraturan Pemerintah saja, yakni pembentukan MRP tahun 2004.
Dosa ketiga, ketika SK Mendagri yang dibackup oleh Wapres Yusuf Kalla untuk mengesahkan Provinsi IJB dan melaksanakan Pemilukada Gubernur IJB tahun 2006, walau hasil negosiasi panjang dengan tim Papua yakni Gubernur, DPRP dan MRP yang mulai pada tanggal 24 November 2005 mencapai tawaran pemekaran Provinsi dan Pemilukada yang dipaksakan Pusat.Dosa berikutnya, ketika dana Otsus tiap tahun anggaran hampir sebagian besarnya tidak efektif untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua, selain dibagi bagi dengan laporan keuangan fiktif, hal ini diikuti dengan tidak konsistennya jadwal pencairan dana Otsus per triwulannya, disamping itu tidak adanya realisasi atas pembagian hasil SDA Papua serta pelanggaran erhadap pasal 5 yang merupakan langkah gigih MRP untuk perdasus lambing Daerah yang tak berlanjut dan digantikan dengan PP. No 77 tahun 2007 serta penetapan UU No 35 tahun 2008 dalam mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU Otsus sebagai Provinsi dalam otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan mencoret dan menambah tersebut terang Alua, telah melanggar pasal 76 yang member kewenangan perubahan UU No. 2001 kepada rakyat asli Papua, dimana kata Alua, mrp telah mengingatkan Wapres Yusuf KAlla dan Timnya tetapi tal diindahkan dengan mendirikan barisan Merah Putih di Tanah Papua dan kegiatannya yang berakibat pada terganggunya keberadaan lembaga Negara DPR dan MRP dalam mengambil kebijakannya dikontrol dan kaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga Negara yang lebih tinggi.Selain itu adanya perjuangan MRP yang tak terakomodir yang oleh Agus Alue Alua semakin menambah daftar panjang dosa Pemerintah, ketika perjuangan 11 kursi Otsus versus penerimaan usul BMP atas 11 kursi yang sama yang diperjuangkan BMP hingga MK yang mengkerdilkan lembaga DPRP dan MRP.Adanya Politisasi SK 14 MRP/2009 yang jadi bola liar panas yang mudah dipermainkan oleh siapa saja dari pusat sampai Daerah yang ditanggapi Pemerintah Pusat dan Daerah dengan penuh curiga hingga nasip SK 14 sampai kini tak digunakan dalam pemilukada tahun 2010 ini di seluruh Tanah Papua.Disamping menyebutkan barisan daftar Dosa yang dibuat Pemerintah Pusat terhadap Papua, Alua memaparkan pula daftar dosa yang dilakukan Pemerintah Daerah Papua, yang dinilai tak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 tahun Implementasi Otsus terkecuali Perdasi pembagian dana Otsus, pembentukan MRP. Selain belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi SERTA Pengadilan HAM di Papua , dinilai telah adanya dualism hokum antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota terkait UU No. 32 Tahun 2004 yang dinilai tak sedikitpun ada upaya menyingkronkan kedua UU tersebut, disertai retrumen PNS bagi orang asli Papua yang belum Nampak dalam sejumlah penerimaan PNS yang berlangsung disemua Instansi Pemerintah, justru penerimaan PNS banyak dibanjiri para migrant luar Papua yang dinilai tak jelas latarbelakangnya, terang Alua.Masalah Migran yang belum tersentuh dan sangat berdampak buruk terhadap masyarakat asli Papua terutama dampak penyebaran HIV AIDS, miras, prostitusi dan dampak ekonomi yang berpengaruh terhadap penguasaan sumber sumber ekonomi, sementara keadaan Otsus pada 2010 dalam pengamatan fakta pelaksanaannya, menurut MRP Pemerintah Provinsi telah mengklaim keberhasilan Otsus wjudnya Respek yang berhasil sementara rakyat menilai Otsus gagal menjamin dan menolong orang asli Papaua sehingga semua semua pihak perlu duduk bersama dan membicarakan kembali Otsus di Tanah Papua, kata dia dengan cara kita Evaluasi isi dan cara implementasi UU Otsus dalam rangka revisi menyeluruh atau solusi lainnya Otsus Papua ditingkatkan statusnya menjadi federal dengan melaksanakan sistim Pemerintahan ONE Nation Two Systems atau perlunya dialog Nasional antara Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan masalah Ppaua secara menyeluruh, bermartabat dan tuntas yang dimediasi oleh Pihak ketiga atau Negara tertentu atau Badan Internasional Independen tertentu, kata Alua.
Akankah MRP Bertahan Dalam sambuatan Gubernur yang dibacakan Wakil Gubernur Alex Hesegem pada Peringatan Ultah MRP Kelima Senin ( 1/11) menerangkan posisi MRP setelah ada Keputusan Mendagri kalau Lembaga Kultural ini akan diperpanjang masa Tugasnya untuk tiga bulan kedepan terhitung November hingga Januari tahun depan, namun dari keterangan sambutan yang dibacakan Wakil Gubernur belum menerangkan adanya suatu keputusan Gubernur atau peraturan yang bisa menjamin MRP untuk bertahan, kalau memang lembaga ini secara defakto berakhir masa tugasnya 31 Oktober kemarin.Seharusnya Gubernur perlu mengeluarkan SK resmi untuk menjamin bila lembaga ini akan bertahan hingga tiga bulan kedepan, kalau gubernur mulai hari ini belum juga mengeluarkan suatu Keputusan, maka kehadiran MRP untuk tiga bulan kedepan tak berdasarkan hokum dan illegal.
Sementara Kehadiran MRP masih dibutuhkan oleh rakyat Papua sebagai lembaga Negara, namun kebijakannya selalu dilecehkan bila melihat kembali dari Inkonsistensinya Pemerintah dalam melaksanakan Undang Undang Otsus terkait kebijakan yang diambil lembaga cultural ini dalam memberdayakan, melindungi dan keberpihakannya pada orang asli Papua, kata Paskalis Keagop jurnalis yang menulis tentang rekan jejak lembaga MRPDitempat terpisah Dominikus Sorabut menyatakan, kehadiran MRP sebagai lembaga representative dengan keadaannya yang mengambang tanpa aturan Hukum. ,masih terus jadi pertanyaan, akankah MRP terus ada atau tidak perlu ada tergantung aturan hokum, sebab belum ada perdasus yang mengatur keberadaan lembaga ini, kata dia.Kalau MRP harus ditiadakan, itu kewenangan Pemerintah Pusat dari sudut pandang apa hingga Pemerintah memandang Perlu tidaknya Lembaga ini tetap eksis, semuanya dari kebijakan yang diambil Pemerintah,” ujar Pascal. (ven)
via ScribeFire
0 Response to "Kebijakan MRP Selalu Dicurigai"
Post a Comment