Pro dan Kontra Integrasi West Papua ke dalam NKRI

Catatan Seminar Publik Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam NKRI
Kalangan rakyat Papua menyatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, tentu hal ini bersebarangan dengan pendapat segelintir orang Papua yang menyatakan, bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai. Siapa benar dan siapa salah??

Pendahuluan

OCTHO- Melalui sebuah wadah pergerakan anak-anak muda Papua yang begitu peduili dengan persoalan di tanah Papua, yakni; Komite Nasional Papua Barat (KNPB) baru saja di selenggarakan seminar public sehari yang bertemakan “Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam wilayah NKRI”. Sudah tentu ini merupakan sebuah batu loncatan, dimana dengan berani mampu menghadirkan mereka yang selama ini begitu pro dan kontra terhadap integrasi Papua ke dalam wilayah NRKI.

Para pembicara yang hadir sekaligus memberikan materinya dalam seminar public kali ini sangat beragam, mulai dari yang pro seperti; Nicolas Messet (Tokoh Papua) dan Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papua Barat dan yang kontra seperti; Edison Waromi, S.H (Presiden Eksekutif WPNA) dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman, S.Th (Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua).

Selain itu, hadir pula Laos Kalvin Rumayom, S.Sos salah satu staf pengjar di Universitas Cenderawasih, yang memberikan pandangannya mengenai hubungan Internasional dan Hukum Internasional. Tampak hadir sebagai moderator seminar public, Matius Murib, dari Komnas HAM untuk wilayah Papua. Dan hadir juga para wartawan berbagai media local dan nasional. Sedangkan public yang mengikuti seminar kali ini di perkirakan 400-an orang.

Pro dan Kontra

Antara yang pro dan kontra tidak akan pernah bertemu, apalagi jika kedua-duanya memiliki kepentingan tertentu, di tambah dengan egonya yang berlebihan. Kedua kalangan ini memilki paradigma yang berbeda terhadap persoalan dan konflik di Papua. Perbedaan ini sudah tentu harus di satukan, dan penulis sendiri tidak yakin, dengan seminar seperti ini akan mempersatukan kedua pandangan tersebut.

Kalangan yang telah menyatakan integrasi telah selesai sering mengemukakan pendapat mereka, bahwa NKRI adalah harga mati. Kalangan ini lebih setuju, jika membangun Papua dalam amanat Otsus. Mereka lebih setuju merdeka internal orang Papua, seperti bebas mendapat pendidikan, bebas dari sakit penyakit, bebas dan korupsi, dan lain sebagainya.

Dilain kesempatan, mereka juga sering menerbitkan beberapa paper, essay dan juga buku, diantaranya adalah salah satu buku yang di terbitkan oleh Pusat Studi Nusantara, dengan Judul “Integrasi Sudah Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map”. Dalam buku ini beberapa orang Papua menjadi penulis, seperti Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papu Barat), Julian Yap Marey (Mantan Tokoh OPM), J.R.G Djopari (staf pengajar di Jakarta, sekalgus mantan duta besar Indonesia untuk PNG) dan masih ada beberapa anak muda lainnya yang begitu pro terhadap integrasi.

Dalam buku kecil itu, kebetulan saat itu penulis sempat menghadiri launching buku di Universitas Gadja Mada (UGM), UTC, Lantai II, Yogjakarta, mereka menyatakan dengan jelas, integrasi adalah sebuah persoalan yang tidak perlu di bicarakan, karena toh, Papua sudah final ikut dengan NKRI. Selain itu, Integrasi Papua terbukti tidak bermasalah, dengan kompromi politik yang di lakukan oleh beberapa demokrat Papua dan Jakarta untuk menghadirkan Otsus di Papua.

Sedangkan kalangan yang menyatakan bahwa Integrasi belum selesai selalu mengatakan bahwa Papua Merdeka adalah harga mati, mereka masih bersikeras bahwa pelaksanaan PEPERA tahun 1969 tidak demokratis, dan selain itu berlangsung di bahwa ancaman, todongan Militer Indonesia. Sudah tentu ini sudah melanggar HAM dan konvensi internasional, tentang hak-hak untuk menentukan nasib sendiri. Terbukti, hanya 1025 orang saja yang di pilih oleh pemerintah Jakarta, bukan di pilih oleh orang Papua.

Menurut mereka, Integrasi Papua ke dalam NKRI yang tidak final, dan hal ini juga pernah di teriakan oleh segelintir orang yang saat ini sedang meneriakan bahwa integrasi Papua ke dalam sudah final. Dan kenapa mereka berbalik arah, mungkin uang, jabatan, kedudukan, bahwa nama baik, membuat mereka harus berbalik arah. Untuk mendukung opini mereka, kembali sebuah buku di terbitkan, dengan Judul “Integrasi Belum Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map” penulisnya hanya seseorang, yakni Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman.

Dalam launching buku tersebut, Yoman mengatakan dengan jelas integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, dan menimbulkan banyak masalah yang sudah tentu mengorbankan rakyat Papua. Gereja sebagai pelindung dan pengayom domba-domba yang sedang dan akan punah, sekiranya perlu memberikan perhatian. Dokumen-dokumen penting dari PBB, dan beberapa Negara yang pernah ikut menangani masalah Papua menjadi bukti kuat Yoman untuk menulis buku tersebut. Kehadiran buku tersebut juga bentuk komentar kritis terhadap buku Papua Road Map, yang di terbitkan oleh lembaga penelitian Indonesia.

Pro Integrasi

Integrasi tanah Papua ke dalam NKRI telah final, dan tidak perlu di bicarakan, saat ini yang kita pikir bagaimana membangun Papua yang lebih baik ke depannya. Mungkin kalimat diatas yang sering di ungkapkan oleh beberapa orang Papua yang begitu pro dengan NKRI atau pro dengan Integrasi.

“Saat integrasinya Papua ke dalam NKRI, sudah merupakan keputusan final yang di ambil oleh beberapa petinggi beberapa Negara yang pernah ada di Papua, New York Agrement hanya bentuk akal-akalan agar orang Papua dapat memercayai tekad dan keseriusan Amerika untuk menyelesaikan masalah Papua,” tegas Nicolas Messet, salah satu pemateri dalam seminar public kemarin, Selasa (11/05).

Menurut Messet juga, sekarang sudah saat orang Papua bangkit dan bukan membicarakan integrasi lagi, tetapi membicarakan Otonomi Khusus, agar kedepannya kehidupan kita lebih baik lagi. “Otsus adalah solusi final dimana suatu wujud kompromi politik antara Jakarta dan Papua dalam menjawab tuntutan merdeka, dan tekad pemerintah dalam mempertahankan integrasi wilayah NKRI” imbuh messet.

Messet juga bersikeras bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang ingin membantu Papua, khususnya membicarakan isu referendum atau merdeka, PBB juga demikian. “Mereka hanya akan bersedia membantu, jika isu HAM, kesehatan, kelaparan, sakit penyakit, pemanasan global dan lain sebagainya yang ada di Papua. G-20 lebih menaruh perhatian mereka pada isu-isu di atas, bukan soal referendum seperti tuntutan rakyat Papua,” pungkas Messet.

Messet juga mengatakan bahwa sejak dirinya berkeliling ke beberapa Negara Asia Pasific, tidak ada yang memberikan respon baik terhadap kemerdekaan bahkan dukungan mereka untuk Papua Merdeka, ini menandakan isu referendum bukanlah isu utama di dunia internasional, khususnya kalangan Negara Asia Pasifik.

“Hasil kongres Papua II pada tahun 2000 telah menghasilkan kompromi politik, resolusinya telah lahir OtonomI Khusus, oleh karena itu tidak perlu kita perdebatkan lagi soal integrasi Papua, mari kita pikir Otsus, dimana membangun Papua yang lebih baik,” tegas Messet.

Sementara itu Jimmy Demianus Ijie bependapat senada dengan Messet soal integrasi Papua. yang menurutnya, bahwa integrasi Papua adalah final, dan tidak perlu untuk di bicarakan lagi. “Papua sah bagian dari NKRI,” tegasnya lantang.

Saya sangat pesimis Papua akan Merdeka, dan karena itu saya mendukung integrasi Papua ke dalam NKRI, seraya berbalik untuk membangun Papua dalam bingkai dan amanat Otsus. “Pesimis saya muncul atas sebuah realitas yang selama ini terjadi di tanah Papua dan Papua Barat. Kita masih sering mengkotak-kotakan kita sendiri, dan saat itu pula, persatuan tidak akan pernah tercapai. Saya pesimis Papua bisa merdeka,” jelasnya.

Orang Papua saat ini butuh bersatu, jika tidak jangan pernah bermimpi untuk sebuah perubahan. “Teman-teman yang masih bertahan pada prinsipnya silakan jalan, saya tetap mendukung, namun saya pribadi sangat pesimis dengan perjuangan rakyat Papua. Pergerakan anak muda di era ini lebih baik dari pada pergerakan anak-anak muda dulu,” urainya menjelaskan.

Kontra Integrasi

Edison Waromi, Presiden West Papua National Autority (WPNA) yang menjadi salah satu pemateri dalam seminar public ini mengatakan bahwa integras belum selesai dan tidak sah. Oleh karena itu persoalan ini patut di bicarakan kembali. “Integrasi tidak selesai karena dalam prosesnya banyak ketimpangan,” tegasnya.

“Orang Papua terus menuntut pemerintah Indonesia untuk membicarakan sola integrasi, karena proses inilah yang telah mengorbankan rakyat Papua. Dan akar masalahnya sebenarnya terletak pada proses ini. kami menjadi korban dari kepentingan Negara Indonesia dan Negara barat,” tambahnya.

Edison juga mengatakan bahwa, dalam sumpah pemuda yang menjadi awal lahirnya pemuda Indonesia tidak pernah ada orang Papua dan tidak ada juga keterwakilan pemuda Papua di sana. Ini harus menjadi perhatikan kita bersama, jangan asal-asal mengatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sudah final, tegasnya menjelaskan.

Dalam New York Agrement pada pasal 20 menjelaskan bahwa satu orang satu suara, bukan satu orang mewakili beberapa orang, apalagi menggunakan sistem musyawarah. Tapi hal ini yang di putarbalikan pemerintah Indonesia, dimana memilih beberapa orang Papua saja untuk menyarakan hak-hak hampir 800 ribu orang Papua saat pepera berlangsung.

“Untuk menyelesaikan masalah dan konflik di Papua bukan melalui Otsus, tetapi melalui sebuah dialog internasional. Dialog antara pihak-pihak yang pernah terlibat di Papua, seperti Amerika, Belanda bahkan PBB sendiri,” urainya.

Sementara itu pemateri berikutnya, Socrates Sofyan Yoman yang juga Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di tanah Papua menjelaskan soal integrasi yang tidak selesai dari perspektif gereja. “Gereja punya tugas melindungi, mengayomi dan menyelematkan domba-domba yang akan punah dari tanah Papua,” jelasnya.

Stigma separatis yang di berikan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua adalah senjata ampuh untuk memusnahkan orang Papua. Kami bukan pemberontak, bahkan kita tidak pernah membuat keributan, justru pemerintah Indonesia-lah yang datang bikin rebut di daerah kami.

“Dengan tegas saya minta kepada pemerintah Indonesia untuk stop memberikan label separatis kepada rakyat Papua, kami manusia beradab yang tahu diri. Justru kalian yang tidak tahu diri. Jangan ada satupun domba di Papua di korbankan demi menyelamatkan kepentingan Negara di tanah Papua, ini tidak boleh terjadi, jelas Yoman geram.

Yoman yang juga telah menulis Sembilan buah buku, dan beberapa di antaranya telah di sita pengadilan negeri juga menjelaskan bahwa gereja Tuhan di Papua bertugas untuk membicarakan karya penyelematan Tuhan, sekaligus menjaga domba-dombanya dari terkaman singa-singa lapar. “Gereja Tuhan harus membicarakan tentang kebebasan, karena Tuhan datang ke dunia untuk memberikan kebebasan kepada siapa saja,” terangnya.

Banyak gereja tabuh membicarakan tentang Papua, mungkin karena mereka takut tidak dapat dana Otonomi Khusus dari pemerintah, justru ini yang salah. Pribadi saya gereja harus betul-betul menjadi pelita yang dapat menyinari dunia, bukan menyinari lingkungan gerejanya saja. “Kalau ada hamba Tuhan yang takut bicara tentang Papua, sudah bisa di tebak, dia ingin jatah dana Otonomi Khusus dari pemerintah,” imbuhnya di sambut tertawa pada hadirin.

Integrasi belum selesai, dan gereja bertugas penting untuk ikut ambil bagian dalam membicarakan proses ketimpangan itu. Akhirinya menjelaskan.

Penutup

Mendukung atau tidaknya Integrasi adalah hal yang wajar. Setiap orang mempunyai pandangan, pemahaman serta pendapat yang berbeda. Tapi, yang di sayangkan, jangan karena sebuah kepentingan, justru mengorbankan rakyat Papua yang tidak berdosa.

Segelintir orang Papua memandang integrasi sudah final, jika iya, kenapa awal mula saat berada pada posisi yang tidak menentu, ikut memperjuangkan suara ini, yang gaungnya-pun di kampanyekan ke Negara-negara barat dan Asia Pasifik sana. Dan ketika merasa hidup serba kekuarangan dengan pekerjaan mulia itu, langsung berbalik arah, sambil merangkul musuh, inikan seperti sebuah lelucon.

Uang, jabatan, kedudukan dan nama baik sudah tentu mempengaruhi beberapa orang Papua yang dulunya lantang berteriak untuk Papua Merdeka untuk kembali ke dalam pangkuan NKRI. Hal ini sangat jelas dan nyata. Coba lihat saja, mereka yang mendukung pro akan integrasi pada umumnya berada pada level atau tingkat hidup yang sangat menyenangkan.

Kita harus melihat suara masyarakat akar rumput yang belum tersentuh oleh pembangunan, dan itu sudah tentu menjadi ukuran untuk membenarkan, kira-kira integrasi telah selesai atau belum selesai. Membangun wacana integrasi telah selesai atas dasar kita memiliki koneksi yang luas dengan Jakarta adalah hal yang paling konyol dan sudah tentu akan berbuntut pada konflik internal orang Papua.

Sebaiknya tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi khayalak umum yang masih sangat awam soal retreorika dan kepentingan. Sepengetahuan mereka, ini yang benar dan ini yang salah, mereka tidak tau istilah “abu-abu” atau juga istilah “hitam-putih”.

Untuk yang begitu pro dengan integrasi, jangan sekali-kali membohongi hati nurani, karena sampai kapanpun hati nurani tidak bisa di bohongi. Kebenaran itu mutlak, tidak ada benar setengah, tidak ada benar 80% dan juga tidak ada benar 10%. Kami masyarakat akar rumput tidak pantas menghakimi, karena hanya Tuhan yang patut menghakimi umat manusia.

Dan untuk yang begitu kontra dengan dialog, tetap berjuang, dan tetaplah bersuara, jika sanubari hati mengatakan demikian. masyarakat akar rumput yang selama ini menjadi korban penjajahan dunia internasional dan pemerintah Indonesia tetap menantikan sebuah solusi, solusi yang paten, solusi yang membebaskan. Tuhan bangsa Papua selalu ada di pihak kita, di pihak yang benar. Selamat merefleksikan.

Oktovianus Pogau, seorang Jurnalis yang tinggal di Jayapura. Dapat di hubungi melalui emailnya: oktovianus_pogau@yahoo.co.id dan weblog http://pogauokto.blogspot.com

0 Response to "Pro dan Kontra Integrasi West Papua ke dalam NKRI"

Papua Indonesia

Facebook Status RSS Feed Filter